Bahaya Techno-Feudalism Menjadi Sorotan Dosen IAIN Kudus di AICIS
Semarakkan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di UIN Walisongo Semarang, pada 31 Januari – 4 Februari 2024, salah satu dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus, Dr. H. Nur Said, M.A., M.Ag., paparkan fenomena Techo-feodalisme dan tantangan etika global agama-agama. Paper dengan judul British Scholar’s Perception on Capitalism And Religious Ethics in The Age of Techno-Feudalism, merupakan bagian kecil dari hasil kunjungan ilmiahnya bersama Prof. Dr. H. Abdurrahman Mas’ud dari UIN Walisongo Semarang beberapa bulan lalu di United Kingdom (UK) yang ditulis bersama Drs. Sus Eko Zuhri Ernanda, Grad.Dipl.IR., M.A., CIQaR, CIQnR. , dosen Hubungan International Universitas Jember.
Perspektif orientalism UK menjadi titik tekannya dalam mereview dinamika kapitalisme dan dan kolonialisme di tengah perubahan yang pesat (great disruptif) yang tak lepas dari pergeseran pola-pola feodalisme dalam lintas zaman. Di depan dua Profesor discussant dan puluhan peserta yang hadir, Nur Said menyampaikan temuan bahwa Feodalisme lama cenderung monopolo lahan tanah kendalikan ekonomi dan politik melului otoritas kekuasan lokal/raja dan seterusnya. Sementara trens Techno feodalism merupakan wujud dari monopoli modern dalam lahan virtual (digital) melalui intervensi kebijakan-kebijakan tertentu oleh pemegang otoritas big technology. Siapa yang menguasai data mereka punya kuasa ekonomi, politik bahkan budaya juga pendidikan.
Said mencontohkan banyaknya kasus internet of thing (IoT) yang mengharuskan akses data pribadi dan jejaring pertemanan untuk bisa memanfaatkan aplikasi tertentu. Kongritnya seperti terhapuanya Palestina dari googlemap, kewajiban submit artikel dengan terindeks tertentu dari asing, plagiarism checker dengan portal brand tertentu, pemanfaatan market place denga regulasi yang mengikat, penyimpanan data berbasis clouds , termasuk politik arsip manuskrip nusantara yangf diboyong ke Eropa, hasil digitalisasinya harus akses dengan bargaining modal finansial tertentu, hanya beberapa contoh kasus saja. Power and knowledge melalui jejak orientalisme oleh sebagian intelektual UK disinyalir untuk kepentingan kolonialisme yang tak lepas dari orientasi gold, glory dan gospel. Namun dalam perspektif tertentu kolonial telah menyelamatkan sejumlah manuskrip dan sejumlah warisan budaya baik buik baik atau buruk tak bisa diabaikan, sehingga bangsa ini perlu memilah dan memilihnya dengan selektif.
Sebagai antisipasi dini, sejumlah narasumber dari UK antara lain di London, Oxford dan Birmingham menyarankan mendalami lebih jauh fenemena Eurocentrisme tersebut, dengan menelaahnya secara kritis dengan menggerakkan trens kajian oksidentalisme sehingga menemukan plus minus landskap relasi kuasa data baik yang nyata maupun yg maya (cyber). Perspektif techno feudalism membantu mengurai relasi kuasa lahan virtual yang makin disruptif ini. Pada posisi inilah etika global agama agama perlu hadir dalam bingkai Pancasila di era technofeadalisme yang makin nyata, demikian Said menegaskan dalam presentasi AICIS di parallel session bersama tiga narasumber lainnya dari beberap negara.
Sementara, Dr. Sirajul Munir, M.Pd., dari UIN Mahmud Yunus Batusangkar, sebagai discussant memberi review dari sudut pandang tindak lanjut kebijakannya bagaimana. Menurutnya ini bisa menjadi pertimbangan pengambilan kebijakan agar sistem pendikan dan budaya bangsa tetap berdaulat di tengah ancaman techno feodalisme ini. Sedangkan, Prof. Dr. Mukhibat, M.Ag., reviewer dari IAIN Ponorongo mengarahkan agar positioning paper ini diperjelas terutama di tengah arus besar orentalisme dan oksidentalisme. Dalam dua mainstream epistemologis inilah, Nur Said memposisikan jalan tengah mengambil nilai-nilai positif dan progresif baik dari orentalisme maupun oksidalimse dalam menghadapi tantangan techno feodalisme agar kajian keislaman di Indonesia tetap eksis dalam bingkai interdisipliner dan transdisipliner.